Jumat, 16 Maret 2012

101 Intisari Seni Perang Sun Tzu

Sun Tzu
  1. Seni perang sangat penting bagi negara. Ini menyangkut masalah hidup dan mati, satu jalan (tao) menuju keselamatan atau kehancuran.
  2. Kenalilah musuhmu, kenalilah diri sendiri. Maka kau bisa berjuang dalam 100 pertempuran tanpa risiko kalah. Kenali bumi, kenali langit, dan kemenanganmu akan menjadi lengkap.
  3. Sang jenderal adalah pelindung negara. Ketika sang pelindung utuh, tentu negaranya kuat. Kalau sang pelindung cacat, tentu negaranya lemah.
  4. Gunakanlah kekuatan normal untuk bertempur. Gunakan kekuatan luar biasa untuk meraih kemenangan.
  5. Kemungkinan menang terletak pada serangan. Mereka yang menduduki medan pertempurannya lebih dulu dan menantikan musuhnya, akan memperoleh kemenangan.
  6. Kecepatan adalah inti perang. Yang dihargai dalam perang adalah kemenangan yang cepat, bukan operasi militer berkepanjangan.
  7. Ketika sepuluh lawan satu, kepunglah. Ketika lima lawan satu, seranglah. Ketika dua lawan satu, bertempurlah. Ketika seimbang, pecah belahlah. Ketika lebih sedikit, bertahanlah. Ketika tidak memadai, hindarilah.
  8. Mengetahui kapan seseorang dapat dan tidak dapat bertempur adalah kemenangan.
  9. Mengetahui cara menggunakan yang banyak dan yang sedikit adalah kemenangan.
  10. Atasan dan bawahan yang menginginkan hasrat yang sama adalah kemenangan.
  11. Bersikap siap dan menunggu musuh tidak siap adalah kemenangan.
  12. Sang jenderal yang mampu dan sang raja yang tidak campur tangan adalah kemenangan.
  13. Kemenangan itu dapat dikenal, tetapi tidak dapat dibuat.
  14. Kondisi tak terkalahkan terdapat pada diri sendiri. Kondisi dapat ditaklukkan terdapat pada musuh. Demikianlah yang terampil dapat menjadikan diri mereka tak terkalahkan. Mereka tidak bisa menjadikan musuh dapat ditaklukkan.
  15. Militer yang menang sudah menang lebih dulu, baru bertempur. Militer yang kalah bertempur dulu, baru mencari kemenangan.
  16. Pertama, ukurlah panjangnya. Kedua, ukurlah volumenya. Ketiga, hitunglah. Keempat, timbanglah. Kelima adalah kemenangan. Bumi melahirkan panjang. Panjang melahirkan volume. Volume melahirkan hitungan. Hitungan melahirkan timbangan. Timbangan melahirkan kemenangan.
  17. Melawan yang banyak sama seperti melawan yang sedikit. Itu hanya soal bentuk dan nama.
  18. Pertempurannya kacau, tetapi tidak seorang pun tidak takluk pada kekacauan. Kekacauan lahir dari keteraturan. Kepengecutan lahir dari dari keberanian. Kelemahan lahir dari kekuatan. Keteraturan dan kekacauan adalah soal menghitung. Keberanian dan kepengecutan adalah soal shih. Kekuatan dan kelemahan adalah soal bentuk.
  19. Tentang sifat pepohonan dan batu-batuan – ketika tenang, mereka diam. Ketika marah, mereka bergerak. Ketika persegi, mereka berhenti. Ketika bundar, mereka bergerak. Mengerahkan orang-orang ke pertempuran adalah seperti menggelindingkan batu-batuan bundar dari sebuah gunung setinggi seribu jen.
  20. Seseorang yang mengambil posisi lebih dulu di medan pertempuran dan menantikan musuhnya, tenang. Seseorang yang mengambil posisi belakangan di medan perang dan tergesa-gesa bertempur, ia harus bekerja keras. Demikianlah seseorang yang terampil bertempur memanggil lawannya, dan bukan dipanggil oleh mereka.
  21. Untuk membuat musuh datang atas kemauan sendiri – tawarkan mereka keuntungan. Untuk mencegah datangnya musuh – lukai mereka. Demikianlah seseorang dapat membuat musuh bekerja keras sementara ia sendiri tenang, dan membuat musuh kelaparan sementara ia sendiri kenyang.
  22. Kejarlah rancangan-rancangan strategis untuk membuat musuh takjub. Maka kau bisa merebut kota-kota musuh dan menggulingkan negaranya.
  23. Untuk menempuh jarak seribu li tanpa takut, tempuhlah jalan yang tak berpenghuni.
  24. Untuk menyerang dan pasti merebutnya, seranglah di mana mereka tidak bertahan.
  25. Untuk bertahan dan pasti tetap teguh, bertahanlah di mana mereka pasti menyerang.
  26. Demikianlah kalau seseorang terampil menyerang, musuh tidak tahu di mana ia harus bertahan. Kalau seseorang terampil bertahan, musuh tidak tahu di mana ia harus menyerang.
  27. Jenderal yang terampil akan membentuk lawannya, sementara ia sendiri tanpa bentuk.
  28. Siapkan di bagian depan, maka yang belakang lemah. Siapkan di bagian kiri, maka yang kanan lemah. Di mana-mana siap, di mana-mana lemah.
  29. Tak ada yang lebih sulit daripada menyiapkan pasukan.
  30. Sebuah pasukan tanpa kereta bagasi, akan kalah. Tanpa gandum dan makanan, kalah. Tanpa persediaan, kalah.
  31. Gesit seperti angin. Lamban seperti hutan. Menyerbu dan menjarah seperti api. Tak bergerak seperti gunung. Sulit dikenal seperti yin. Bergerak seperti guntur.
  32. Ketika menjarah desa, bagikanlah pada orang banyak. Ketika memperluas wilayah, bagilah keuntungannya. Timbanglah itu dan bertindaklah.
  33. Karena mereka tak dapat mendengar satu sama lain, mereka membuat genderang dan lonceng. Karena mereka tak dapat saling melihat, mereka membuat bendera serta spanduk.
  34. Dalam pertempuran di siang hari, gunakanlah lebih banyak bendera dan spanduk. Dalam pertempuran di malam hari, gunakanlah lebih banyak genderang dan lonceng. Genderang dan lonceng, bendera dan spanduk adalah alat seseorang menyatukan telinga dan mata orang-orangnya.
  35. Begitu pasukan disatukan dengan erat, yang berani tidak berkesempatan maju sendirian, yang pengecut tidak berkesempatan mundur sendirian, inilah metode menggunakan pasukan dalam jumlah besar.
  36. Bagi seorang jenderal ada lima bahaya – bertekad mati, ia bisa tewas. Bertekad hidup, ia bisa tertangkap. Cepat marah, ia bisa dihasut. Murni dan jujur, ia bisa dipermalukan. Mengasihi orang banyak, ia bisa dibuat jengkel. Kelimanya adalah bencana dalam militer.
  37. Gunakan keteraturan untuk menantikan kekacauan. Gunakan ketenangan untuk menantikan kebisingan. Inilah yang dimaksud dengan mengatur hati dan pikiran.
  38. Gunakan yang dekat untuk menunggu yang jauh. Gunakan yang santai untuk menunggu yang bekerja keras. Gunakan yang kenyang untuk menunggu yang lapar. Inilah yang dimaksud dengan mengatur kekuatan.
  39. Jangan bertempur dengan pasukan yang teratur. Jangan memukul formasi-formasi yang kuat. Inilah yang dimaksud dengan mengatur perubahan.
  40. Jangan hadapi mereka ketika mereka berada di bukit yang tinggi. Jangan melawan mereka sementara mereka membelakangi gundukan. Jangan mengejar mereka ketika mereka berpura-pura kalah. Berikan jalan keluar bagi prajurit-prajurit yang dikepung. Jangan menghalangi prajurit yang mau pulang.
  41. Di tanah terbuka, janganlah berkemah. Di tanah persimpangan, bergabunglah dengan para sekutu. Di tanah penyeberangan, jangan berlama-lama. Di tanah tertutup, susunlah strategi. Di tanah kematian, bertempurlah sampai mati.
  42. Ada jalan-jalan yang hendaknya tidak ditempuh. Ada pasukan-pasukan yang hendaknya tidak digempur. Ada kota-kota yang hendaknya tidak diserang. Ada tanah-tanah yang hendaknya tidak diperebutkan. Ada perintah-perintah yang berdaulat yang hendaknya tidak diterima.
  43. Kalau menurut Tao pertempuran ada kemenangan yang pasti, sementara sang raja melarang bertempur, jelas seseorang tetap bisa bertempur. Kalau menurut Tao pertempuran taka da kemenangan, sementara sang raja menyuruh bertempur, seseorang tidak boleh bertempur.
  44. Rencana-rencana orang bijak pasti mencakup keuntungan dan bahaya. Mencakup keuntungan, sehingga pelayanannya dapat dipercayai. Mencakup bahaya, sehingga kesulitan dapat diatasi.
  45. Tujuan mereka hendaknya mengambil segala yang di kolong langit dalam kondisi utuh lewat keunggulan strategis.
  46. Buatlah jalan mereka memutar dan pancinglah mereka dengan keuntungan.
  47. Memenangkan pertempuran dan merebut lahan dan kota, tetapi gagal mengonsolidasikan kemenangan, sama saja dengan buang-buang waktu dan sumber daya.
  48. Ketika serangan elang meremukkan tubuh mangsanya, itu adalah berkat waktunya (timing). Waktu adalah serupa dengan ditariknya pelatuk.
  49. Jangan ulangi cara-cara meraih kemenangan.
  50. Komandan yang andal dalam perang meningkatkan pengaruh moral dan patuh kepada hukum serta peraturan. Demikianlah ia berkuasa mengendalikan sukses.
  51. Adalah urusan seorang jenderal untuk tidak banyak bicara, sehingga lebih dapat menyimak.
  52. Komandan yang baik akan mencari kebajikan dan berusaha mendisiplinkan diri sesuai dengan hukum, agar dapat mengendalikan keberhasilannya.
  53. Sang pemenang adalah mereka yang tahu menggunakan strategi langsung dan strategi tidak langsung.
  54. Kegesitan itu unggul. Tunggangilah ketidakmampuan lawan. Tempuhlah jalan yang tidak disangka-sangka. Seranglah di mana ia tidak siap.
  55. Seseorang yang terampil menggunakan militer dapat disamakan dengan shuai-jan. Shuai-jan adalah seekor ular dari Gunung Heng. Pukullah kepalanya, maka ekornya tiba. Pukullah ekornya, maka kepalanya tiba. Pukullah bagian tengahnya, maka kepala maupun ekornya tiba.
  56. Kalau seseorang bertindak konsisten untuk melatih orang banyak, maka orang banyak itu akan tunduk. Kalau seseorang bertindak tidak konsiten untuk melatih orang banyak, maka orang banyak itu takkan tunduk. Seseorang yang bertindak konsisten itu serasi dengan orang banyak.
  57. Seorang jenderal mewakili nilai-nilai kebaikan dari kebijaksanaan, ketulusan, kemurahan hati, keberanian, dan kedisiplinan.
  58. Jenderal yang baik mengikat pasukannya. Ikatlah mereka dengan perbuatan. Janganlah memerintah mereka dengan perkataan. Ikatlah mereka dengan bahaya. Janganlah memerintah mereka dengan keuntungan. Persulitlah mereka di tanah kepunahan, toh mereka tetap selamat. Tenggelamkanlah mereka di tanah kematian, toh mereka tetap hidup. Orang banyak ditenggelamkan ke dalam bahaya. Toh mereka dapat mengubah kekalahan menjadi kemenangan.
  59. Jenderal yang melindungi tentaranya seperti bayi akan mendapati mereka mengikutinya sampai ke jurang yang dalam. Jenderal yang memperlakukan tentaranya seperti anaknya yang dikasihi, akan mendapati mereka bersedia mati untuknya.
  60. Jenderal yang cakap membuat prajurit sepenuhnya sepakat dengan pimpinan mereka, sehingga mereka akan mengikutinya sepanjang hidup sampai mati, tanpa merasa takut atas hidup mereka, dan tak gentar terhadap bahaya apapun.
  61. Kalau sesuai dengan keuntungan, bertindaklah. Kalau tidak sesuai dengan keuntungan, berhentilah.
  62. Kalau ada yang bertanya, “Musuh yang besar jumlahnya dan teratur akan mendekat, bagaimanakah aku menantikan dia?”, akan kujawab, “Rebutlah apa yang dicintainya, maka ia akan mendengarkanmu”.
  63. Seranglah pada saat lawan tidak siap. Datanglah pada saat yang tidak diduga.
  64. Jadilah yang pertama menempati yang tinggi dan Yang. Amankanlah rute persediaanmu.
  65. Pasukan menyukai yang tanah tinggi dan membenci yang rendah, menghargai Yang dan mencemooh Yin, mempertahankan kehidupan dan mengambil posisi yang mantap. Inilah yang dimaksudkan ‘pasti menang’. Pasukan ini tak mengalami seratus penindasan.
  66. Janganlah maju dengan angkuh. Cukuplah mengumpulkan kekuatan, mengamati musuh, dan menyerangnya. Namun, kalau seseorang tidak membuat rencana dan menganggap enteng musuh, ia pasti tertangkap musuhnya.
  67. Mengetahui pasukan dapat menggempur, tetapi tidak mengetahui bahwa musuh tak dapat digempur, ini hanya separuh kemenangan. Mengetahui bahwa musuh dapat digempur, tetapi tidak mengetahui bahwa pasukan tak dapat menggempur, ini hanyalah separuh kemenangan. Mengetahui bahwa musuh dapat digempur, mengetahuti bahwa pasukan dapat menggempur, tetapi tidak mengetahui bahwa bentuk bumi tak dapat digunakan untuk bertempur, ini juga hanya separuh kemenangan.
  68. Sang komandan tenang dan tak dapat diduga. Ia menciptakan keteraturan. Ia mengaburkan mata dan telinga pejabat maupun pasukan. Mencegah mereka memilikinya. Ia mengubah-ubah kegiatannya. Ia mengganti-ganti strateginya. Ia mencegah orang memahaminya. Ia ubah perkemahannya. Membuat rutenya memutar. Mencegah orang mendapatkan rencananya.
  69. Ketika saya meraih kemenangan, saya tidak akan mengulangi taktik tang sama, tetapi melihat situasi dengan cara yang tak terbatas. Strategi militer sama seperti air yang mengalir. Seperti air membentuk alirannya mengikuti dataran yang dilewati, pasukan meraih kemenangan tergantung pada musuh yang dihadapi. Oleh karena itu, siapa yang dapat memodifikasi taktik berdasarkan keadaan musuh akan meraih kemenangan sejati.
  70. Dalam pertempuran memiliki banyak tentara tidak menjamin kemenangan. Jangan maju bertempur hanya semata-mata mengandalkan kekuatan militer. Setiap orang yang kurang perhitungan dan menganggap enteng musuh dengan menghina dan meremehkan, pada akhirnya akan tertawan sendiri.
  71. Semakin banyak perencanaan, semakin banyak peluang menang. Semakin sedikit perencanaan, semakin sedikit peluang menang. Lantas, bagaimana jika tanpa perencanaan sama sekali?
  72. Jenderal yang cakap maju berperang tanpa mengharapkan ketenaran, dan mundur tanpa merasa takut dipermalukan. Jenderal yang cakap hanya berusaha melindungi rakyatnya, melayani pemerintahnya. Ia adalah mutiara bangsa yang sangat berharga.
  73. Dapat melihat matahari dan bulan bukanlah pertanda tajamnya penglihatan. Mampu mendengar suara halilintar bukanlah pertanda tajamnya pendengaran. Kemenangan hanya bisa diraih dengan cara-cara yang luar biasa.
  74. Bersekutulah dengan negara tetangga di daerah perbatasan.
  75. Kalau tidak menguntungkan, janganlah bertindak. Kalau tak mungkin menang, janganlah menggunakan pasukan. Kalau tidak dalam bahaya, janganlah bertempur.
  76. Raja tak dapat membangkitkan pasukan hanya dengan murkanya. Jenderal tak dapat bertempur hanya dengan kepahitannya. Kalau sesuai dengan keuntungan, gunakanlah pasukan. Kalau tidak, berhentilah.
  77. Pemerintah yang berpikiran terbuka merencanakan dengan baik. Jenderal yang baik siap melaksanakan rencana tersebut.
  78. Tanpa keharmonisan dalam suatu negara, tidak akan ada ekspedisi militer yang dapat dilakukan. Tanpa keharmonisan dalam barisan tentara, tak ada formasi pertempuran yang dapat dibentuk.
  79. Meraih 100 kemenangan dalam 100 pertempuran bukanlah puncak keterampilan. Menaklukkan musuh tanpa bertempurlah kesempurnaan tertinggi.
  80. Ada lima serangan dengan api. Yang pertama, membakar orang. Yang kedua, membakar took. Yang ketiga, membakar kereta bagasi. Yang keempat, membakar pabrik senjata. Yang kelima, membakar jalur transportasi.
  81. Menggunakan api untuk menyerang adalah cerdik. Menggunakan air untuk menyerang juga memberi kekuatan lebih hebat. Tetapi air hanya dapat membagi atau menghalangi lawan, sedangkan api dapat menghancurkan lawan.
  82. Membunuh musuh adalah soal amarah murka. Mengambil makanan musuh adalah keuntungan.
  83. Mata-mata merupakan elemen penting dalam perang, karena di pundak mereka bergantung kemampuan pasukan untuk bergerak.
  84. Tak ada persaudaraan lebih intim daripada persaudaraan seorang mata-mata. Tak ada upah lebih besar daripada upah seorang mata-mata. Tak ada urusan lebih rahasia daripada urusan mata-mata.
  85. Tak ada yang lebih sulit daripada mengatur maneuver pasukan. Mereka yang bergerak tanpa penghalang akan menang. Mereka yang bisa menggunakan tipu daya akan menang.
  86. Rahasia dari tipu daya adalah mengetahui bagaimana memanipulasi pandangan musuh. Membuat yang jauh kelihatan dekat, dan yang dekat kelihatan jauh.
  87. Jenderal yang baik menghindari musuh yang semangatnya tinggi. Ia menyerang musuh pada saat mereka lelah.
  88. Jangan mengejar gerakan mundur yang fatal. Jangan terpancing umpan musuh.
  89. Ketika mengepung musuh, berikan mereka jalan keluar. Jangan menekan musuh yang sudah tidak berdaya.
  90. Ada lima jenis pengintai yang dapat digunakan. Ada pengintai pribumi, pengintai yang membelot, pengintai mati, dan pengintai hidup.
  91. Kunci memenangkan pertempuran adalah memahami maksud musuh. Konsentrasikan kekuatan di satu arah. Tempuhlah jarak seribu li, dan bunuhlah jenderalnya.
  92. Raja yang dicerahkan, merenungkannya. Jenderal yang baik menindaklanjutinya.
  93. Kemenangan dapat direncanakan. Ketika saya membangun strategi terakhir, haruslah tidak berbentuk dan tidak kelihatan. Tidak berbentuk, sehingga tak diketahui oleh mata-mata paling hebat sekalipun. Tidak kelihatan, sehingga tak dapat dikalahkan oleh penasihat terhebat. Saya mengalahkan musuh dengan mengendalikan situasi, namun musuh tidak tahu bagaimana saya mengawasinya.
  94. Setiap strategi meramalkan kemenangan. Dengan menunggu titik kelemahan musuh sampai mudah diserang, mereka pasti menang.
  95. Jika kita menghormati kekuatan lawan dan dengan tekun mempelajari gerakannya, kita akan menang. Jika kita meremehkan lawan dan tidak memperhatikan arti gerakan-gerakannya, kita akan kalah.
  96. Ada enam kesalahan yang bisa menyebabkan kekalahan yaitu pengkhianatan, ketidakpatuhan, kesia-siaan, ketergesa-gesaan, kekacauan, dan kekurangmampuan.
  97. Kemiliteran adalah tao penyesatan. Ketika dekat, wujudkan seolah-olah jauh. Ketika jauh, wujudkan seolah-olah dekat. Demikianlah ketika ia mencari keuntungan, pancinglah ia.
  98. Seseorang yang tidak sepenuhnya mengetahui bahaya menggunakan pasukan, tidak mungkin sepenuhnya mengetahui keuntungan menggunakan pasukan.
  99. Tak satu pun dari lima elemen (air, api, kayu, logam, tanah) yang lebih dominan. Tak satu pun dari keempat musim yang abadi. Hari-hari terkadang lebih panjang, dan terkadang lebih pendek. Dan bulan kadang bersinar, kadang redup.
  100. Mengambil seluruh negara itu superior. Menghancurkannya adalah memalukan.
  101. Keunggulan tertinggi adalah kemampuan menembus pertahanan musuh tanpa harus berperang. Pejuang terhebat adalah yang mampu menekan musuh untuk menyerah tanpa perlawanan.
Sumber: Buku "101 Intisari Seni Perang Sun Tzu" karya William Tanuwidjaja

8x3=23

Yan Hui adalah murid kesayangan Confusius yang suka belajar, sifatnya baik. Pada suatu hari ketika Yan Hui sedang bertugas, dia melihat satu toko kain sedang dikerumunin banyak orang. Dia mendekat dan mendapati pembeli dan penjual kain sedang berdebat.

Pembeli berteriak: "3x8 = 23, kenapa kamu bilang 24?

"Yan Hui mendekati pembeli kain dan berkata: "Sobat, 3x8 = 24, tidak usah diperdebatkan lagi".

Pembeli kain tidak senang lalu menunjuk hidung Yan Hui dan berkata: "Siapa minta pendapatmu? Kalaupun mau minta pendapat mesti minta ke Confusius. Benar atau salah Confusius yang berhak mengatakan".

Yan Hui: "Baik, jika Confusius bilang kamu salah, bagaimana?"

Pembeli kain: "Kalau Confusius bilang saya salah, kepalaku aku potong untukmu. Kalau kamu yang salah, bagaimana?"

Yan Hui: "Kalau saya yang salah, jabatanku untukmu".

Keduanya sepakat untuk bertaruh, lalu pergi mencari Confusius. Setelah Confusius tahu duduk persoalannya, Confusius berkata
kepada Yan Hui sambil tertawa: "3x8 = 23. Yan Hui, kamu kalah. Kasihkan jabatanmu kepada dia." Selamanya Yan Hui tidak akan berdebat dengan gurunya. Ketika mendengar Confusius bilang dia salah, diturunkannya topinya lalu dia berikan kepada pembeli kain.

Orang itu mengambil topi Yan Hui dan berlalu dengan puas.Walaupun Yan Hui menerima penilaian Confusius tapi hatinya tidak sependapat. Dia merasa Confusius sudah tua dan pikun sehingga dia tidak mau lagi belajar darinya. Yan Hui minta cuti dengan alasan urusan keluarga. Confusius tahu isi hati Yan Hui dan memberi cuti padanya. Sebelum berangkat, Yan Hui pamitan dan Confusius memintanya cepat kembali setelah urusannya selesai, dan memberi Yan Hui dua nasehat : "Bila hujan lebat, janganlah berteduh di bawah pohon. Dan jangan membunuh."

Yan Hui bilang baiklah lalu berangkat pulang.

Di dalam perjalanan tiba2 angin kencang disertai petir, kelihatannya sudah mau turun hujan lebat. Yan Hui ingin berlindung di bawah pohon tapi tiba2 ingat nasehat Confusius dan dalam hati berpikir untuk menuruti kata gurunya sekali lagi. Dia meninggalkan pohon itu. Belum lama dia pergi, petir menyambar dan pohon itu hancur. Yan Hui terkejut, nasehat gurunya yang pertama sudah terbukti.

Apakah saya akan membunuh orang? Yan Hui tiba dirumahnya sudah larut malam dan tidak ingin mengganggu tidur istrinya. Dia menggunakan pedangnya untuk membuka kamarnya. Sesampai didepan ranjang, dia meraba dan mendapati ada seorang di sisi kiri ranjang dan seorang lagi di sisi kanan. Dia sangat marah, dan mau menghunus pedangnya. Pada saat mau menghujamkan pedangnya, dia ingat lagi nasehat Confusius, jangan membunuh. Dia lalu menyalakan lilin dan ternyata yang tidur disamping istrinya adalah adik istrinya.

Pada keesokan harinya, Yan Hui kembali ke Confusius, berlutut dan berkata: "Guru, bagaimana guru tahu apa yang akan terjadi?"

Confusius berkata: "Kemarin hari sangatlah panas, diperkirakan akan turun hujan petir, makanya guru mengingatkanmu untuk tidak berlindung dibawah pohon. Kamu kemarin pergi dengan amarah dan membawa pedang, maka guru mengingatkanmu agar jangan membunuh".

Yan Hui berkata: "Guru, perkiraanmu hebat sekali, murid sangatlah kagum."

Confusius bilang: "Aku tahu kamu minta cuti bukanlah karena urusan keluarga. Kamu tidak ingin belajar lagi dariku. Cobalah kamu pikir. Kemarin guru bilang 3x8=23 adalah benar, kamu kalah dan kehilangan jabatanmu. Tapi jikalau guru bilang 3x8=24 adalah benar, si pembeli kainlah yang kalah dan itu berarti akan hilang 1 nyawa. Menurutmu, jabatanmu lebih penting atau kehilangan 1 nyawa yang lebih penting?"

Yan Hui sadar akan kesalahannya dan berkata : "Guru mementingkan yang lebih utama, murid malah berpikir guru sudah tua dan pikun. Murid benar2 malu."

Sejak itu, kemanapun Confusius pergi Yan Hui selalu mengikutinya.

Cerita ini mengingatkan kita:

Jikapun aku bertaruh dan memenangkan seluruh dunia, tapi aku kehilangan kamu, apalah artinya.

Dengan kata lain, kamu bertaruh memenangkan apa yang kamu anggap adalah kebenaran, tapi malah kehilangan sesuatu yang lebih penting.

Banyak hal ada kadar kepentingannya. Janganlah gara2 bertaruh mati2an untuk prinsip kebenaran itu, tapi akhirnya malah menyesal, sudahlah terlambat.

Banyak hal sebenarnya tidak perlu dipertaruhkan. Mundur selangkah, malah yang didapat adalah kebaikan bagi semua orang.

Bersikeras melawan pelanggan. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga.
Bersikeras melawan atasan. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga.
Bersikeras melawan suami. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga.
Bersikeras melawan teman. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga

Kemenangan bukanlah soal medali, tapi terlebih dulu adalah kemenangan terhadap diri dan lebih penting kemenangan di dalam hati.

BE A WINNER!

Jerry Positive Thinking

Jerry is the kind of guy you love to hate. He is always in a good mood and always has something positive to say. When someone would ask him how he was doing, he would reply, "If I were any better, I would be twins!" He was a unique manager because he had several waiters who had followed him around from restaurant to restaurant.

The reason the waiters followed Jerry was because of his attitude. He was a natural motivator. If an employee was having a bad day, Jerry was there telling the employee how to look on the positive side of the situation.

Seeing this style really made me curious, so one day I went up to Jerry and asked him, I don't get it! You can't be a positive person all of the time. How do you do it?" Jerry replied, "Each morning I wake up and say to myself, Jerry, you have two choices today. You can choose to be in a good mood or you can choose to be in a bad mood.

I choose to be in a good mood. Each time something bad happens, I can choose to be a victim or I can choose to learn from it. I choose to learn from it. Every time someone comes to me complaining, I can choose to accept their complaining or I can point out the positive side of life. I choose the positive side of life.

"Yeah, right, it's not that easy," I protested. "Yes, it is," Jerry said. "Life is all about choices. When you cut away all the junk, every situation is a choice. You choose how you react to situations. You choose how people will affect your mood. You choose to be in a good mood or bad mood. The bottom line: It's your choice how you live life."

I reflected on what Jerry said. Soon thereafter, I left the restaurant industry to start my own business. We lost touch, but I often thought about him when I made a choice about life instead of reacting to it.

Several years later, I heard that Jerry did something you are never supposed to do in a restaurant business: he left the back door open one morning and was held up at gun point by three armed robbers. While trying to open the safe, his hand, shaking from nervousness, slipped off the combination. The robbers panicked and shot him. Luckily, Jerry was found relatively quickly and rushed to the local trauma center. After 18 hours of surgery and weeks of intensive care, Jerry was released from the hospital with fragments of the bullets still in his body.

I saw Jerry about six months after the accident. When I asked him how he was, he replied, "If I were any better, I'd be twins. Wanna see my scars?" I declined to see his wounds, but did ask him what had gone through his mind as the robbery took place. “The first thing that went through my mind was that I should have locked the back door," Jerry replied. "Then, as I lay on the floor, I remembered that I had two choices: I could choose to live or I could choose to die. I chose to live."
"Weren't you scared? Did you lose consciousness?" I asked. Jerry continued, "...the paramedics were great. They kept telling me I was going to be fine. But when they wheeled me into the ER and I saw the expressions on the faces of the doctors and nurses, I got really scared. In their eyes, I read 'he's a dead man.'

I knew I needed to take action." " What did you do?" I asked. "Well, there was a big burly nurse shouting questions at me," said Jerry. "She asked if I was allergic to anything. 'Yes,' I replied. The doctors and nurses stopped working as they waited for my reply. I took a deep breath and yelled, 'Bullets!' Over their laughter, I told them, 'I am choosing to live. Operate on me as if I am alive, not dead.'"

Jerry lived thanks to the skill of his doctors, but also because of his amazing attitude. I learned from him that every day we have the choice to live fully. Attitude, after all, is everything.


sumber : http://bungacerita.blogspot.com

KERJA ADALAH SEBUAH KEHORMATAN

Saat seorang pemuda sedang makan, datanglah seorang anak kecil laki-laki menjajakan kue kepadanya, “Pak mau beli kue?”
Dgn ramah pemuda yg sedang makan menjawab, “Tidak, saya sdg makan”
Anak kecil tsb tidak putus asa dgn tawaran pertama. Ia tawarkan lagi kue stlh pemuda itu selesai makan, pemuda tsb menjawab: “Tidak Dik, saya sudah kenyang”

Setelah pemuda itu membayar ke kasir & beranjak pergi dari warung kaki lima, anak kecil penjaja kue tidak menyerah dgn usahanya.

Mungkin anak kecil ini berpikir, “Saya coba lagi tawarkan kue ini kpd bapak itu, siapa tahu kue ini dijadikan oleh-oleh buat orang di rumah”

“Pak mau beli kue saya?”

Pemuda yg ditawarkan jadi risih juga untuk menolak yg ketiga kalinya, kemudian ia keluarkan uang Rp 2000,- & ia berikan sebagai sedekah tanpa menerima kuenya.

Lalu uang yg diberikan pemuda itu di ambil & diberikan kepada pengemis yg sedang meminta-minta.
Pemuda tadi jadi bingung, lho ini anak dikasih uang kok malah dikasihkan kpd orang lain,
“Kenapa kamu berikan uang tsb kpd pengemis?"

Anak kecil menjawab, “Saya sudah berjanji sama ibu di rumah, ingin menjualkan kue buatan ibu, bukan jadi pengemis, & saya akan bangga pulang ke rumah bertemu ibu kalo kue buatan ibu terjual habis."

Kemudian pemuda tadi memborong smua kue yang dijajakan lelaki kecil, bukan karna ia kasihan, bukan karna ia lapar, tapi karna prinsip yg dimiliki oleh anak kecil itu,

“KERJA ADALAH SEBUAH KEHORMATAN”

Pesan Moral,
Kerja bukanlah masalah uang semata,
namun lebih mendalam mempunyai sesuatu arti bagi hidup anda.

Sekecil apapun yg anda kerjakan,
Sejauh itu memberikan rasa bangga di dalam diri,
Maka itu akan memberikan arti besar.

Bukan masalah tinggi rendah atau besar kecilnya suatu profesi,
namun yg lebih penting adalah etos kerja,
dalam arti penghargaan terhadap apa yg anda kerjakan. ( >͡ .̮ Ơ̴͡ )

"Tangan yang lamban membuat miskin,
tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya “


fbti

Senin, 12 Maret 2012

Suara yang Paling Indah

Seorang tua yang tidak berpendidikan tengah mengunjungi sebuah kota besar untuk pertama kali dalam hidupnya. Dia dibesarkan di sebuah dusun di pegunungan yang terpencil, bekerja keras membesarkan anak-anaknya, dan kini sedang menikmati kunjungan perdananya ke rumah anak-anaknya yang modern.

Suatu hari, sewaktu dibawa berkeliling kota, orang tua itu mendengar suara yang menyakitkan telinga. Belum pernah dia mendengar suara yang begitu tidak enak didengar semacam itu di dusunnya yang sunyi. Dia bersikeras mencari sumber bunyi tersebut. Dia mengikuti sumber suara sumbang itu, dan dia tiba di sebuah ruangan di belakang sebuah rumah, dimana seorang anak kecil sedang belajar bermain biola.

"Ngiiik! Ngoook!" berasal dari nada sumbang biola tersebut.

Saat dia mengetahui dari putranya bahwa itulah yang dinamakan "biola", dia memutuskan untuk tidak akan pernah mau lagi mendengar suara yang mengerikan tersebut.

Hari berikutnya, di bagian lain kota, orang tua ini mendengar sebuah suara yang seolah membelai-belai telinga tuanya. Belum pernah dia mendengar melodi seindah itu di lembah gunungnya, dia pun mencoba mencari sumber suara tersebut. Ketika sampai kesumbernya, dia tiba diruangan depan sebuah rumah, dimana seorang perempuan tua, seorang maestro, sedang memainkan sonata dengan biolanya.

Seketika, si orang tua ini menyadari kekeliruannya. Suara tidak mengenakkan yang didengarnya kemarin bukanlah kesalahan dari biola, bukan pula salah sang anak. Itu hanyalah proses belajar seorang anak yang belum bisa memainkan biolanya dengan baik.

Hari ketiga, dibagian lain kota, si orang tua mendengar suara lain yang bahkan melebihi kemerduan dan kejernihan suara sang maestro biola. Menurut Anda, suara apakah itu?

Itu suara sebuah orkestra besar yang memainkan sebuah simfoni.

"Inilah suara terindah yang pernah kudengar", katanya.

Bagi si orang tua, alasan mengapa itulah suara terindah di dunia adalah, pertama, setiap anggota orkestra merupakan maestro alat musiknya masing-masing; dan kedua, mereka telah belajar lebih jauh lagi untuk bisa bermain bersama-sama dalam harmoni.


dikutip dari buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya


Pensil

Seorang anak bertanya kepada neneknya yang sedang menulis sebuah surat.
"Nenek lagi menulis tentang pengalaman kita ya? Atau tentang aku?"

Mendengar pertanyaan si cucu, sang nenek berhenti menulis dan berkata kepada cucunya,
"Sebenarnya nenek sedang menulis tentang kamu, tapi ada yang lebih penting dari isi tulisan ini yaitu pensil yang nenek pakai. Nenek harap kamu bakal seperti pensil ini ketika kamu besar nanti", ujar si nenek lagi.

Mendengar jawaban ini, si cucu kemudian melihat pensilnya dan bertanya kembali kepada si nenek ketika dia melihat tidak ada yang istimewa dari pensil yang nenek pakai.
"Tapi nek, sepertinya pensil itu sama saja dengan pensil yang lainnya", Ujar si cucu.

Si nenek kemudian menjawab,
"Itu semua tergantung bagaimana kamu melihat pensil ini. Pensil ini mempunyai 5 kualitas yang bisa membuatmu selalu tenang dalam menjalani hidup, kalau kamu selalu memegang prinsip-prinsip itu di dalam hidup ini", Si nenek kemudian menjelaskan 5 kualitas dari sebuah pensil.

"Kualitas pertama, pensil mengingatkan kamu kalau kamu bisa berbuat hal yang hebat dalam hidup ini. Layaknya sebuah pensil ketika menulis, kamu jangan pernah lupa kalau ada tangan yang selalu membimbing langkah kamu dalam hidup ini. Kita menyebutnya tangan Tuhan, Dia akan selalu membimbing kita menurut kehendakNya".

"Kualitas kedua, dalam proses menulis, nenek kadang beberapa kali harus berhenti dan menggunakan rautan untuk menajamkan kembali pensil nenek. Rautan ini pasti akan membuat si pensil menderita. Tapi setelah proses meraut selesai, si pensil akan mendapatkan ketajamannya kembali. Begitu juga dengan kamu, dalam hidup ini kamu harus berani menerima penderitaan dan kesusahan, karena merekalah yang akan membuatmu menjadi orang yang lebih baik".

"Kualitas ketiga, pensil selalu memberikan kita kesempatan untuk mempergunakan penghapus, untuk memperbaiki kata-kata yang salah. Oleh karena itu memperbaiki kesalahan kita dalam hidup ini, bukanlah hal yang jelek. Itu bisa membantu kita untuk tetap berada pada jalan yang benar".

"Kualitas keempat, bagian yang paling penting dari sebuah pensil bukanlah bagian luarnya, melainkan arang yang ada di dalam sebuah pensil. Oleh sebab itu, selalulah hati-hati dan menyadari hal-hal di dalam dirimu".

"Kualitas kelima, sebuah pensil selalu meninggalkan tanda/goresan. Seperti juga kamu, kamu harus sadar kalau apapun yang kamu perbuat dalam hidup ini akan meninggalkan kesan. Oleh karena itu selalulah hati-hati dan sadar terhadap semua tindakan".

-nn-

Senin, 05 Maret 2012

Elang dan Kalkun

Konon di satu saat yang telah lama berlalu, Elang dan Kalkun adalah burung yang menjadi teman yang baik. Dimanapun mereka berada, kedua teman selalu pergi bersama-sama. Tidak aneh bagi manusia untuk melihat Elang dan Kalkun terbang bersebelahan melintasi udara bebas.

Satu hari ketika mereka terbang, Kalkun berbicara pada Elang, “Mari kita turun dan mendapatkan sesuatu untuk dimakan. Perut saya sudah keroncongan nih!”. Elang membalas, “Kedengarannya ide yang bagus”.

Jadi kedua burung melayang turun ke bumi, melihat beberapa binatang lain sedang makan dan memutuskan bergabung dengan mereka. Mereka mendarat dekat dengan seekor Sapi. Sapi ini tengah sibuk makan jagung,namun sewaktu memperhatikan bahwa ada Elang dan Kalkun sedang berdiri dekat dengannya, Sapi berkata, “Selamat datang, silakan cicipi jagung manis ini”.

Ajakan ini membuat kedua burung ini terkejut. Mereka tidak biasa jika ada binatang lain berbagi soal makanan mereka dengan mudahnya. Elang bertanya, “Mengapa kamu bersedia membagikan jagung milikmu bagi kami?”. Sapi menjawab, “Oh, kami punya banyak makanan disini. Tuan Petani memberikan bagi kami apapun yang kami inginkan”. Dengan undangan itu, Elang dan Kalkun menjadi terkejut dan menelan ludah. Sebelum selesai, Kalkun menanyakan lebih jauh tentang Tuan Petani.

Sapi menjawab, “Yah, dia menumbuhkan sendiri semua makanan kami. Kami sama sekali tidak perlu bekerja untuk makanan”. Kalkun tambah bingung, “Maksud kamu, Tuan Petani itu memberikan padamu semua yang ingin kamu makan?”. Sapi menjawab, “Tepat sekali!. Tidak hanya itu, dia juga memberikan pada kami tempat untuk tinggal.” Elang dan Kalkun menjadi syok berat!. Mereka belum pernah mendengar hal seperti ini. Mereka selalu harus mencari makanan dan bekerja untuk mencari naungan.

Ketika datang waktunya untuk meninggalkan tempat itu, Kalkun dan Elang mulai berdiskusi lagi tentang situasi ini. Kalkun berkata pada Elang, “Mungkin kita harus tinggal di sini. Kita bisa mendapatkan semua makanan yang kita inginkan tanpa perlu bekerja. Dan gudang yang disana cocok dijadikan sarang seperti yang telah pernah bangun. Disamping itu saya telah lelah bila harus selalu bekerja untuk dapat hidup.”

Elang juga goyah dengan pengalaman ini, “Saya tidak tahu tentang semua ini. Kedengarannya terlalu baik untuk diterima. Saya menemukan semua ini sulit untuk dipercaya bahwa ada pihak yang mendapat sesuatu tanpa mbalan. Disamping itu saya lebih suka terbang tinggi dan bebas mengarungi langit luas. Dan bekerja untuk menyediakan makanan dan tempat bernaung tidaklah terlalu buruk. Pada kenyataannya, saya menemukan hal itu sebagai tantangan menarik”.

Akhirnya, Kalkun memikirkan semuanya dan memutuskan untuk menetap dimana ada makanan gratis dan juga naungan. Namun Elang memutuskan bahwa ia amat mencintai kemerdekaannya dibanding menyerahkannya begitu saja. Ia menikmati tantangan rutin yang membuatnya hidup. Jadi setelah mengucapkan selamat berpisah untuk teman lamanya Si Kalkun, Elang menetapkan penerbangan untuk petualangan baru yang ia tidak ketahui bagaimana ke depannya.

Semuanya berjalan baik bagi Si Kalkun. Dia makan semua yang ia inginkan. Dia tidak pernah bekerja. Dia bertumbuh menjadi burung gemuk dan malas. Namun suatu hari dia mendengar istri Tuan Petani menyebutkan bahwa Hari raya Thanks giving akan datang beberapa hari lagi dan alangkah indahnya jika ada hidangan Kalkun panggang untuk makan malam. Mendengar hal itu, Si Kalkun memutuskan sudah waktunya untuk pergi dari pertanian itu dan bergabung kembali dengan teman baiknya, si Elang.

Namun ketika dia berusaha untuk terbang, dia menemukan bahwa ia telah tumbuh terlalu gemuk dan malas. Bukannya dapat terbang, dia justru hanya bisa mengepak-ngepakkan sayapnya. Akhirnya di Hari Thanks giving keluarga Tuan Petani duduk bersama menghadapi panggang daging Kalkun besar yang sedap.

Ketika anda menyerah pada tantangan hidup dalam pencarian keamanan, anda mungkin sedang menyerahkan kemerdekaan anda…Dan Anda akan menyesalinya setelah segalanya berlalu dan tidak ada KESEMPATAN lagi…

Seperti pepatah kuno “selalu ada keju gratis dalam perangkap tikus”.

http://www.emotivasi.com


Sabtu, 03 Maret 2012

Stay Hungry, Stay Foolish

'You've got to find what you love,' Jobs says

This is a prepared text of the Commencement address delivered by Steve Jobs, CEO of Apple Computer and of Pixar Animation Studios, on June 12, 2005.

I am honored to be with you today at your commencement from one of the finest universities in the world. I never graduated from college. Truth be told, this is the closest I've ever gotten to a college graduation. Today I want to tell you three stories from my life. That's it. No big deal. Just three stories.

The first story is about connecting the dots.

I dropped out of Reed College after the first 6 months, but then stayed around as a drop-in for another 18 months or so before I really quit. So why did I drop out?

It started before I was born. My biological mother was a young, unwed college graduate student, and she decided to put me up for adoption. She felt very strongly that I should be adopted by college graduates, so everything was all set for me to be adopted at birth by a lawyer and his wife. Except that when I popped out they decided at the last minute that they really wanted a girl. So my parents, who were on a waiting list, got a call in the middle of the night asking: "We have an unexpected baby boy; do you want him?" They said: "Of course." My biological mother later found out that my mother had never graduated from college and that my father had never graduated from high school. She refused to sign the final adoption papers. She only relented a few months later when my parents promised that I would someday go to college.

And 17 years later I did go to college. But I naively chose a college that was almost as expensive as Stanford, and all of my working-class parents' savings were being spent on my college tuition. After six months, I couldn't see the value in it. I had no idea what I wanted to do with my life and no idea how college was going to help me figure it out. And here I was spending all of the money my parents had saved their entire life. So I decided to drop out and trust that it would all work out OK. It was pretty scary at the time, but looking back it was one of the best decisions I ever made. The minute I dropped out I could stop taking the required classes that didn't interest me, and begin dropping in on the ones that looked interesting.

It wasn't all romantic. I didn't have a dorm room, so I slept on the floor in friends' rooms, I returned coke bottles for the 5¢ deposits to buy food with, and I would walk the 7 miles across town every Sunday night to get one good meal a week at the Hare Krishna temple. I loved it. And much of what I stumbled into by following my curiosity and intuition turned out to be priceless later on. Let me give you one example:

Reed College at that time offered perhaps the best calligraphy instruction in the country. Throughout the campus every poster, every label on every drawer, was beautifully hand calligraphed. Because I had dropped out and didn't have to take the normal classes, I decided to take a calligraphy class to learn how to do this. I learned about serif and san serif typefaces, about varying the amount of space between different letter combinations, about what makes great typography great. It was beautiful, historical, artistically subtle in a way that science can't capture, and I found it fascinating.

None of this had even a hope of any practical application in my life. But ten years later, when we were designing the first Macintosh computer, it all came back to me. And we designed it all into the Mac. It was the first computer with beautiful typography. If I had never dropped in on that single course in college, the Mac would have never had multiple typefaces or proportionally spaced fonts. And since Windows just copied the Mac, it's likely that no personal computer would have them. If I had never dropped out, I would have never dropped in on this calligraphy class, and personal computers might not have the wonderful typography that they do. Of course it was impossible to connect the dots looking forward when I was in college. But it was very, very clear looking backwards ten years later.

Again, you can't connect the dots looking forward; you can only connect them looking backwards. So you have to trust that the dots will somehow connect in your future. You have to trust in something — your gut, destiny, life, karma, whatever. This approach has never let me down, and it has made all the difference in my life.

My second story is about love and loss.

I was lucky — I found what I loved to do early in life. Woz and I started Apple in my parents garage when I was 20. We worked hard, and in 10 years Apple had grown from just the two of us in a garage into a $2 billion company with over 4000 employees. We had just released our finest creation — the Macintosh — a year earlier, and I had just turned 30. And then I got fired. How can you get fired from a company you started? Well, as Apple grew we hired someone who I thought was very talented to run the company with me, and for the first year or so things went well. But then our visions of the future began to diverge and eventually we had a falling out. When we did, our Board of Directors sided with him. So at 30 I was out. And very publicly out. What had been the focus of my entire adult life was gone, and it was devastating.

I really didn't know what to do for a few months. I felt that I had let the previous generation of entrepreneurs down - that I had dropped the baton as it was being passed to me. I met with David Packard and Bob Noyce and tried to apologize for screwing up so badly. I was a very public failure, and I even thought about running away from the valley. But something slowly began to dawn on me — I still loved what I did. The turn of events at Apple had not changed that one bit. I had been rejected, but I was still in love. And so I decided to start over.

I didn't see it then, but it turned out that getting fired from Apple was the best thing that could have ever happened to me. The heaviness of being successful was replaced by the lightness of being a beginner again, less sure about everything. It freed me to enter one of the most creative periods of my life.

During the next five years, I started a company named NeXT, another company named Pixar, and fell in love with an amazing woman who would become my wife. Pixar went on to create the worlds first computer animated feature film, Toy Story, and is now the most successful animation studio in the world. In a remarkable turn of events, Apple bought NeXT, I returned to Apple, and the technology we developed at NeXT is at the heart of Apple's current renaissance. And Laurene and I have a wonderful family together.

I'm pretty sure none of this would have happened if I hadn't been fired from Apple. It was awful tasting medicine, but I guess the patient needed it. Sometimes life hits you in the head with a brick. Don't lose faith. I'm convinced that the only thing that kept me going was that I loved what I did. You've got to find what you love. And that is as true for your work as it is for your lovers. Your work is going to fill a large part of your life, and the only way to be truly satisfied is to do what you believe is great work. And the only way to do great work is to love what you do. If you haven't found it yet, keep looking. Don't settle. As with all matters of the heart, you'll know when you find it. And, like any great relationship, it just gets better and better as the years roll on. So keep looking until you find it. Don't settle.

My third story is about death.

When I was 17, I read a quote that went something like: "If you live each day as if it was your last, someday you'll most certainly be right." It made an impression on me, and since then, for the past 33 years, I have looked in the mirror every morning and asked myself: "If today were the last day of my life, would I want to do what I am about to do today?" And whenever the answer has been "No" for too many days in a row, I know I need to change something.

Remembering that I'll be dead soon is the most important tool I've ever encountered to help me make the big choices in life. Because almost everything — all external expectations, all pride, all fear of embarrassment or failure - these things just fall away in the face of death, leaving only what is truly important. Remembering that you are going to die is the best way I know to avoid the trap of thinking you have something to lose. You are already naked. There is no reason not to follow your heart.

About a year ago I was diagnosed with cancer. I had a scan at 7:30 in the morning, and it clearly showed a tumor on my pancreas. I didn't even know what a pancreas was. The doctors told me this was almost certainly a type of cancer that is incurable, and that I should expect to live no longer than three to six months. My doctor advised me to go home and get my affairs in order, which is doctor's code for prepare to die. It means to try to tell your kids everything you thought you'd have the next 10 years to tell them in just a few months. It means to make sure everything is buttoned up so that it will be as easy as possible for your family. It means to say your goodbyes.

I lived with that diagnosis all day. Later that evening I had a biopsy, where they stuck an endoscope down my throat, through my stomach and into my intestines, put a needle into my pancreas and got a few cells from the tumor. I was sedated, but my wife, who was there, told me that when they viewed the cells under a microscope the doctors started crying because it turned out to be a very rare form of pancreatic cancer that is curable with surgery. I had the surgery and I'm fine now.

This was the closest I've been to facing death, and I hope it's the closest I get for a few more decades. Having lived through it, I can now say this to you with a bit more certainty than when death was a useful but purely intellectual concept:

No one wants to die. Even people who want to go to heaven don't want to die to get there. And yet death is the destination we all share. No one has ever escaped it. And that is as it should be, because Death is very likely the single best invention of Life. It is Life's change agent. It clears out the old to make way for the new. Right now the new is you, but someday not too long from now, you will gradually become the old and be cleared away. Sorry to be so dramatic, but it is quite true.

Your time is limited, so don't waste it living someone else's life. Don't be trapped by dogma — which is living with the results of other people's thinking. Don't let the noise of others' opinions drown out your own inner voice. And most important, have the courage to follow your heart and intuition. They somehow already know what you truly want to become. Everything else is secondary.

When I was young, there was an amazing publication called The Whole Earth Catalog, which was one of the bibles of my generation. It was created by a fellow named Stewart Brand not far from here in Menlo Park, and he brought it to life with his poetic touch. This was in the late 1960's, before personal computers and desktop publishing, so it was all made with typewriters, scissors, and polaroid cameras. It was sort of like Google in paperback form, 35 years before Google came along: it was idealistic, and overflowing with neat tools and great notions.

Stewart and his team put out several issues of The Whole Earth Catalog, and then when it had run its course, they put out a final issue. It was the mid-1970s, and I was your age. On the back cover of their final issue was a photograph of an early morning country road, the kind you might find yourself hitchhiking on if you were so adventurous. Beneath it were the words: "Stay Hungry. Stay Foolish." It was their farewell message as they signed off. Stay Hungry. Stay Foolish. And I have always wished that for myself. And now, as you graduate to begin anew, I wish that for you.

Stay Hungry. Stay Foolish.

Thank you all very much.


http://news.stanford.edu

SOICHIRO HONDA : “Lihat Kegagalan Saya”

Cobalah amati kendaraan yang melintasi jalan raya. Pasti, mata Anda selalu terbentur pada Honda, baik berupa mobil maupun motor. Merk kendaran ini menyesaki padatnya lalu lintas, sehingga layak dijuluki “raja jalanan”.

Namun, pernahkah Anda tahu, sang pendiri “kerajaan” Honda – Soichiro Honda – diliputi kegagalan. Ia juga tidak menyandang gelar insinyur, lebih-lebih Profesor seperti halnya B.J. Habibie, mantan Presiden RI. Ia bukan siswa yang memiliki otak cemerlang. Di kelas, duduknya tidak pernah di depan, selalu menjauh dari pandangan guru. “Nilaiku jelek di sekolah. Tapi saya tidak bersedih, karena dunia saya disekitar mesin, motor dan sepeda,” tutur tokoh ini, yang meninggal pada usia 84 tahun, setelah dirawat di RS Juntendo, Tokyo, akibat mengindap lever.

Saat merintis bisnisnya Soichiro Honda selalu diliputi kegagalan. Ia sempat jatuh sakit, kehabisan uang, dikeluarkan dari kuliah. Namun ia trus bermimpi dan bermimpi…

Kecintaannya kepada mesin, mungkin ‘warisan’ dari ayahnya yang membuka bengkel reparasi pertanian, di dusun Kamyo, distrik Shizuko, Jepang Tengah, tempat kelahiran Soichiro Honda. Di bengkel, ayahnya memberi cathut (kakak tua) untuk mencabut paku. Ia juga sering bermain di tempat penggilingan padi melihat mesin diesel yang menjadi motor penggeraknya.

Di situ, lelaki kelahiran 17 November 1906, ini dapat berdiam diri berjam-jam. Di usia 8 tahun, ia mengayuh sepeda sejauh 10 mil, hanya ingin menyaksikan pesawat terbang.

Ternyata, minatnya pada mesin, tidak sia-sia. Ketika usianya 12 tahun, Honda berhasil menciptakan sebuah sepeda pancal dengan model rem kaki. Tapi, benaknya tidak bermimpi menjadi usahawan otomotif. Ia sadar berasal dari keluarga miskin. Apalagi fisiknya lemah, tidak tampan, sehingga membuatnya rendah diri.

Di usia 15 tahun, Honda hijrah ke Jepang, bekerja Hart Shokai Company. Bosnya, Saka Kibara, sangat senang melihat cara kerjanya. Honda teliti dan cekatan dalam soal mesin. Setiap suara yang mencurigakan, setiap oli yang bocor, tidak luput dari perhatiannya. Enam tahun bekerja disitu, menambah wawasannya tentang permesinan. Akhirnya, pada usia 21 tahun, bosnya mengusulkan membuka suatu kantor cabang di Hamamatsu. Tawaran ini tidak ditampiknya.

Di Hamamatsu prestasi kerjanya tetap membaik. Ia selalu menerima reparasi yang ditolak oleh bengkel lain. Kerjanya pun cepat memperbaiki mobil pelanggan sehingga berjalan kembali. Karena itu, jam kerjanya larut malam, dan terkadang sampai subuh. Otak jeniusnya tetap kreatif. Pada zaman itu, jari-jari mobil terbuat dari kayu, hingga tidak baik meredam goncangan. Ia punya gagasan untuk menggantikan ruji-ruji itu dengan logam. Hasilnya luarbiasa. Ruji-ruji logamnya laku keras, dan diekspor ke seluruh dunia. Di usia 30, Honda menandatangani patennya yang pertama.

Setelah menciptakan ruji, Honda ingin melepaskan diri dari bosnya, membuat usaha bengkel sendiri. Ia mulai berpikir, spesialis apa yang dipilih? Otaknya tertuju kepada pembuatan Ring Pinston, yang dihasilkan oleh bengkelnya sendiri pada tahun 1938. Sayang, karyanya itu ditolak oleh Toyota, karena dianggap tidak memenuhi standar. Ring buatannya tidak lentur, dan tidak laku dijual. Ia ingat reaksi teman-temannya terhadap kegagalan itu. Mereka menyesalkan dirinya keluar dari bengkel.

Kuliah

Karena kegagalan itu, Honda jatuh sakit cukup serius. Dua bulan kemudian, kesehatannya pulih kembali. Ia kembali memimpin bengkelnya. Tapi, soal Ring Pinston itu, belum juga ada solusinya. Demi mencari jawaban, ia kuliah lagi untuk menambah pengetahuannya tentang mesin. Siang hari, setelah pulang kuliah – pagi hari, ia langsung ke bengkel, mempraktekan pengetahuan yang baru diperoleh. Setelah dua tahun menjadi mahasiswa, ia akhirnya dikeluarkan karena jarang mengikuti kuliah.

“Saya merasa sekarat, karena ketika lapar tidak diberi makan, melainkan dijejali penjelasan bertele-tele tentang hukum makanan dan pengaruhnya,” ujar Honda, yang gandrung balap mobil. Kepada Rektornya, ia jelaskan maksudnya kuliah bukan mencari ijasah. Melainkan pengetahuan. Penjelasan ini justru dianggap penghinaan.

Berkat kerja kerasnya, desain Ring Pinston-nya diterima. Pihak Toyota memberikan kontrak, sehingga Honda berniat mendirikan pabrik. Eh malangnya, niatan itu kandas. Jepang, karena siap perang, tidak memberikan dana. Ia pun tidak kehabisan akal mengumpulkan modal dari sekelompok orang untuk mendirikan pabrik. Lagi-lagi musibah datang. Setelah perang meletus, pabriknya terbakar dua kali.

Namun, Honda tidak patah semangat. Ia bergegas mengumpulkan karyawannya. Mereka diperintahkan mengambil sisa kaleng bensol yang dibuang oleh kapal Amerika Serikat, digunakan sebagai bahan mendirikan pabrik. Tanpa diduga, gempa bumi meletus menghancurkan pabriknya, sehingga diputuskan menjual pabrik Ring Pinstonnya ke Toyota. Setelah itu, Honda mencoba beberapa usaha lain. Sayang semuanya gagal.

Akhirnya, tahun 1947,setelah perang Jepang kekurangan bensin. Di sini kondisi ekonomi Jepang porak-poranda. Sampai-sampai Honda tidak dapatmenjual mobilnya untuk membeli makanan bagi keluarganya. Dalam keadaan terdesak, ia memasang motor kecil pada sepeda. Siapa sangka, “sepeda motor” – cikal bakal lahirnya mobil Honda – itu diminati oleh para tetangga. Mereka berbondong-bondong memesan, sehingga Honda kehabisan stok. Disinilah, Honda kembali mendirikan pabrik motor. Sejak itu, kesuksesan tak pernah lepas dari tangannya. Motor Honda berikut mobinya, menjadi “raja” jalanan dunia, termasuk Indonesia.

Soichiro Honda mengatakan, janganlah melihat keberhasilan dalam menggeluti industri otomotif. Tapi lihatlah kegagalan-kegagalan yang dialaminya. “Orang melihat kesuksesan saya hanya satu persen. Tapi, mereka tidak melihat 99% kegagalan saya”, tuturnya. Ia memberikan petuah ketika Anda mengalami kegagalan, yaitu mulailah bermimpi, mimpikanlah mimpi baru dan berusahalah untuk merubah mimpi itu menjadi kenyataan.

Kisah Honda ini, adalah contoh bahwa Suskes itu bisa diraih seseorangdengan modal seadanya, tidak pintar di sekolah, ataupun berasal dari keluarga miskin. Jadi buat apa kita putus asa bersusah hati merenungi nasib dan kegagalan. Tetaplah tegar dan teruslah berusaha, lihatlah Honda sang “Raja” jalanan.

Kami keluarga besar motor Honda percaya tahun 2005 adalah tahun milk Anda. Teruslah berkarya dan berusaha . Kami turut berdoa, semoga tahun 2005 adalah tahun keberhasilan bagi Anda dan kita semua. Amiiin…

5 Resep keberhasilan Honda :

1. Selalulah berambisi dan berjiwa muda.

2. Hargailah teori yang sehat, temukan gagasan baru, khususkan waktu memperbaiki produksi.

3. Senangilah pekerjaan Anda dan usahakan buat kondisi kerja Anda senyaman mungkin.

4. Carilah irama kerja yang lancar dan harmonis.

5. Selalu ingat pentingnya penelitian dan kerja sama.

http://www.emotivasi.com